Sipir penjara di Alaska kerap siksa dan telanjangi napi
Sipir penjara di Alaska kerap siksa dan telanjangi napi
Kehidupan di balik tembok Penjara Spring Creek, Seward, Negara Bagian Alaska, Amerika Serikat, ternyata kejam. Sipir di sana ternyata memperlakukan tahanan tidak manusiawi.
Dilansir dari laman New York Times, Kamis (5/10), kejadian itu diketahui setelah seorang narapidana mengadu kepada sebuah organisasi pemantau, kemudian diteruskan kepada Ombudsman Negara Bagian Alaska. Pelapor dan sebelas napi lain mengaku kerap diperlakukan buruk oleh sipir penjara berkeamanan tinggi itu. Laporannya baru diumumkan kepada masyarakat lewat situs ombudsman beberapa pekan lalu.
Pertama, pernah pada Agustus 2013 mereka dipaksa keluar dari sel dan dipindahkan ke tempat lain. Borgol mereka satu per satu dilepas, kemudian dipaksa telanjang di depan sipir perempuan.
Kemudian, dalam keadaan bugil, mereka kembali diborgol kemudian lehernya diikat lantas diseret seperti anjing. Menurut mereka, sejumlah sipir justru menertawakan dan melontarkan ejekan mereka.
Sebelas napi itu lantas dibawa ke sel isolasi, yang ternyata sudah 'dihias' dengan puing-puing dan kotoran manusia. Di temboknya juga terdapat bercak darah entah dari mana. Mereka lantas dimasukkan ke dalam dan dikunci selama berjam-jam. Ada juga napi lain mengaku ditinggalkan dalam keadaan bugil di sel isolasi selama 12 jam. Dia mendengar kepala sipir bakal memecat anak buahnya jika nekat mengasihaninya.
Laporan itu juga sampai ke tangan Departemen Pemasyarakatan Alaska. Mereka menugaskan salah seorang penyidiknya buat mengusut kejadian itu. Sang penyidik mengatakan para napi itu dihukum sangat kejam hanya karena protes soal seragam. Namun, laporan dia diabaikan dan disangkal oleh kepala sipir dan kepala penjara.
Anggota Ombudsman Alaska, Kate Burkhart, mengatakan puluhan laporan napi itu saling berkelindan. Mereka memiliki kesamaan cerita, utamanya soal metode penyiksaan dilakukan para sipir.
"Cerita mereka memang mengagetkan dan mulanya sulit dipercaya," kata Kate.
Ombudsman Alaska, lanjut Kate, lantas menerbitkan sejumlah saran supaya menghindari hal itu terulang. Yakni meminta Departemen Pemasyarakatan merevisi kebijakan soal penggunaan borgol dan penggeledahan badan. Mereka juga meminta setiap sipir dibekali kamera khusus buat merekam gerak-gerik mereka. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu pun rekomendasi Ombudsman dijalankan.
"Ombudsman enggak punya wewenang buat memaksa, tetapi gubernur dan legislatif bisa melakukannya. Kalau ada bukti dan lembaga negara tidak mematuhi hukum, maka kita harus memberitahu gubernur dan legislatif, supaya mencari jalan keluar," ujar Kate
Dilansir dari laman New York Times, Kamis (5/10), kejadian itu diketahui setelah seorang narapidana mengadu kepada sebuah organisasi pemantau, kemudian diteruskan kepada Ombudsman Negara Bagian Alaska. Pelapor dan sebelas napi lain mengaku kerap diperlakukan buruk oleh sipir penjara berkeamanan tinggi itu. Laporannya baru diumumkan kepada masyarakat lewat situs ombudsman beberapa pekan lalu.
Pertama, pernah pada Agustus 2013 mereka dipaksa keluar dari sel dan dipindahkan ke tempat lain. Borgol mereka satu per satu dilepas, kemudian dipaksa telanjang di depan sipir perempuan.
Kemudian, dalam keadaan bugil, mereka kembali diborgol kemudian lehernya diikat lantas diseret seperti anjing. Menurut mereka, sejumlah sipir justru menertawakan dan melontarkan ejekan mereka.
Sebelas napi itu lantas dibawa ke sel isolasi, yang ternyata sudah 'dihias' dengan puing-puing dan kotoran manusia. Di temboknya juga terdapat bercak darah entah dari mana. Mereka lantas dimasukkan ke dalam dan dikunci selama berjam-jam. Ada juga napi lain mengaku ditinggalkan dalam keadaan bugil di sel isolasi selama 12 jam. Dia mendengar kepala sipir bakal memecat anak buahnya jika nekat mengasihaninya.
Laporan itu juga sampai ke tangan Departemen Pemasyarakatan Alaska. Mereka menugaskan salah seorang penyidiknya buat mengusut kejadian itu. Sang penyidik mengatakan para napi itu dihukum sangat kejam hanya karena protes soal seragam. Namun, laporan dia diabaikan dan disangkal oleh kepala sipir dan kepala penjara.
Anggota Ombudsman Alaska, Kate Burkhart, mengatakan puluhan laporan napi itu saling berkelindan. Mereka memiliki kesamaan cerita, utamanya soal metode penyiksaan dilakukan para sipir.
"Cerita mereka memang mengagetkan dan mulanya sulit dipercaya," kata Kate.
Ombudsman Alaska, lanjut Kate, lantas menerbitkan sejumlah saran supaya menghindari hal itu terulang. Yakni meminta Departemen Pemasyarakatan merevisi kebijakan soal penggunaan borgol dan penggeledahan badan. Mereka juga meminta setiap sipir dibekali kamera khusus buat merekam gerak-gerik mereka. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satu pun rekomendasi Ombudsman dijalankan.
"Ombudsman enggak punya wewenang buat memaksa, tetapi gubernur dan legislatif bisa melakukannya. Kalau ada bukti dan lembaga negara tidak mematuhi hukum, maka kita harus memberitahu gubernur dan legislatif, supaya mencari jalan keluar," ujar Kate
No comments: