Gak Main-main...! Anies Baswedan Bisa Terancam Pidana
Gak Main-main...! Anies Baswedan Bisa Terancam Pidana
LBH Jakarta mengecam penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato perdana pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, karena hal tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum dan menyulut sentimen primordial antar kelompok.
Sudah seharusnya Anies mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf kepada publik.
"Pemilihan penggunaan istilah "pribumi" dalam pidato resmi pejabat negara kontraproduktif dengan upaya mendorong semangat toleransi dan keberagaman. Sayangnya, banyak pejabat negara, termasuk Anies Baswedan, masih kerap menggunakan istilah tersebut dalam memberikan pidato atau pernyataan publik melalui media massa," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa di Jakarta, kemarin.
Pernyataan Anies Baswedan selaras dengan narasi yang digunakan oleh salah satu kelompok pendukungnya kemarin (16/10) yang membentangkan spanduk “Kebangkitan Pribumi Muslim” di depan Balai Kota DKI Jakarta menjelang pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bila ditujukan untuk menyebar kebencian, menunjukkan ekspresi terkait diskriminasi ras dan etnis melalui gambar, tulisan, atau pernyataan publik, jelasnya, melanggar Pasal 4 huruf b ke-1 dan 2 dan Pasal 16 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang secara tegas mengatur sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah).
Selain itu, lanjut Alghifari, penggunaan istilah “pribumi” di lingkungan pemerintahan telah dicabut sejak diterbitkannya Instruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi oleh Presiden Habibie untuk mengakhiri polemik rasialisme terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia pada masa itu.
Penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato publik juga melanggar semangat penghapusan diskriminasi rasial dan etnis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
Pertimbangan UU Nomor 40 Tahun 2008 menyebutkan bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun, baik ras maupun etnis
LBH Jakarta mengecam penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato perdana pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, karena hal tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum dan menyulut sentimen primordial antar kelompok.
Sudah seharusnya Anies mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf kepada publik.
"Pemilihan penggunaan istilah "pribumi" dalam pidato resmi pejabat negara kontraproduktif dengan upaya mendorong semangat toleransi dan keberagaman. Sayangnya, banyak pejabat negara, termasuk Anies Baswedan, masih kerap menggunakan istilah tersebut dalam memberikan pidato atau pernyataan publik melalui media massa," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa di Jakarta, kemarin.
Pernyataan Anies Baswedan selaras dengan narasi yang digunakan oleh salah satu kelompok pendukungnya kemarin (16/10) yang membentangkan spanduk “Kebangkitan Pribumi Muslim” di depan Balai Kota DKI Jakarta menjelang pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bila ditujukan untuk menyebar kebencian, menunjukkan ekspresi terkait diskriminasi ras dan etnis melalui gambar, tulisan, atau pernyataan publik, jelasnya, melanggar Pasal 4 huruf b ke-1 dan 2 dan Pasal 16 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang secara tegas mengatur sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah).
Selain itu, lanjut Alghifari, penggunaan istilah “pribumi” di lingkungan pemerintahan telah dicabut sejak diterbitkannya Instruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi oleh Presiden Habibie untuk mengakhiri polemik rasialisme terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia pada masa itu.
Penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato publik juga melanggar semangat penghapusan diskriminasi rasial dan etnis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
Pertimbangan UU Nomor 40 Tahun 2008 menyebutkan bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun, baik ras maupun etnis
No comments: